Basmalah

Basmalah
Bacalah blog ini dengan membacanya terlebih dulu..syukron :-)

Monday, September 27, 2010

Bidadari yang Mengambil Mata Saya..

| Print Cerpen
Posting cerpen by: Admin
Total cerpen di baca: 3889
Total kata dlm cerpen: 1866
Tanggal cerpen diinput: 21 Nov 2008 Jam cerpen diinput: 12:41 AM
10 Komentar cerpen
Cerpen Ndika Mahrendra, Dimuat di Lampung post 09/24/2006"Maafkan aku, sungguh aku sangat terpaksa melakukan hal ini. Kelak, ketika engkau telah tiba pada suatu tempat, di mana Tuhan kita membuang Adam, saat engkau telah tumbuh dewasa, maka engkau akan tahu betapa tidak bergunanya mata. Sebab, pada saat itu orang-orang tak dapat lagi membedakan, tak dapat lagi menilai. Pada saat itulah, sayang, aku akan datang padamu dan mengembalikan matamu. Untuk sementara lahirlah tanpa mata, biarkan matamu aku bawa, akan selalu aku doakan ia, agar kelak saat aku mengembalikannya padamu, ia mampu membedakan segala sesuatu. Maka pada saat itu engkau harus bersiap menjadi seseorang yang paling terasing". KATA ibu, aku dilahirkan pada sebuah rumah yang mewah, milik kakek dari ayahku. Sebelum aku dilahirkan, kehidupan mereka selalu menyenangkan, penuh canda tawa dan suasana yang sangat intim. Terlebih ketika ibuku mengandung aku, setelah hampir tujuh tahun ibu mengalami masa menunggu yang mendebarkan. Kakek dan nenek selalu memanjakan ibuku, sebab ibuku adalah istri dari anak semata wayangnya, dan sudah barang tentu mereka mengharapkan ayah dan ibuku memberikan seorang cucu untuk melestarikan keturunan mereka. Setiap hari ibu dilayani layaknya seorang putri, bahkan makan pun nenek yang menyuapinya. Setiap sore, mereka semua duduk di teras rumah, memutarkan musik Mozart, agar kelak bayi yang ada dalam kandungan ibu menjadi anak yang pandai. Kakek mengupaskan buah-buahan untuk ibu, sampai ayah pulang dari kantor dan memarahi kakek dan nenek, sebab menurut ayah tak baik seorang yang tengah hamil di luar rumah saat menjelang petang. Pada saat usia kandungan ibu berumur tujuh bulan, rumah mewah itu menjadi benar-benar ramai, akan diadakan acara tujuh bulanan. Kata ibu, ia dirias sangat cantik, dengan gaun yang mewah dan sandal jinjit yang tinggi. Tetangga-tetangga dekat diundang, juga seorang ulama yang tak jauh dari rumah kakek. Semua undangan duduk dengan tenang, dengan sesekali menyeruput minuman dan menyantap kue-kue yang telah dihidangkan. Tak lama kemudian terdengar suara orang mengaji yang sangat indah. Semua orang yang ada dengan serentak diam, menghentikan percakapan mereka. Setelah pembacaan itu selesai, kakek memberi sambutan pada segenap tamu, mengucapkan terima kasih karena mereka menyempatkan waktu mereka yang sangat padat dengan bermacam agenda kerja untuk datang dalam acara yang membahagiakan itu. Dari dalam kamar, di mana ibu tengah dirias, terdengar suara kakek yang tengah memberi sambutan. Kemudian nenek membawa ibuku turun menemui para undangan, sebab setelah sambutan dari kakek akan ada acara siraman rohani yang disampaikan oleh ustaz yang telah diundang, tentang bagaimana cara mendidik anak-anak yang diajarkan agama. Semua tamu terkesiap saat ibuku turun dari tangga dan menuju ke arah mereka. Sayang sekali, terkesiap itu tidak berlangsung lama, sebab kaki ibu terkeseok dan jatuh terguling dari tangga. Semua orang yang ada saat itu secara serentak menjerit. Selangkangan ibu mengeluarkan darah. Ayah, kakek, dan nenek bergegas membawa ibu ke rumah sakit, dengan sebuah mobil. Sejak kejadian itu, rumah menjelma sebagai sirkus orang-orang yang pucat, kesedihan tergaris pada kening ayah, kakek, dan nenek, membuat ibu mengalami ketegangan yang tak dapat ditawar. Dan pada sebuah malam, saat ayah dan ibu duduk berdua di kamar, dengan nada dasar yang sangat berat, ibu bertanya pada ayah perihal apa yang membuat keluarga yang sebelumnya menyenangkan itu menjadi seperti ruangan para pidana yang cemas menunggu eksekusi. Dengan suara yang menggetarkan, seperti suara dari negeri yang entah ada di mana, ayah memberi tahu ibu; bahwa bayi yang tengah ibu kandung, sebab kecelakaan itu, jika kelak terlahir akan menjadi bayi yang cacat. Bayi yang sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk tahu apa dan bagaimana ayah dan ibunya, bagaimana rupa dunia. Ibu seperti dilemparkan pada sebuah ruangan yang setiap sudutnya memancarkan sinar laser, yang jika tersentuh sedikit saja maka ia akan hancur. Ibu merasakan sinar itu kian mendekat, membangun sebuah ruang yang menyekatnya untuk menemui ayah, kakek, dan nenek. Ruangan itu meredamkan setiap apa saja yang dikatakan ibu, tidak memberi kesempatan pada ibu untuk sekadar berkata maaf, tak mampu membahagiakan mereka. Hingga pada suatu malam, sinar merah itu memaksa ibu untuk keluar, untuk keluar, dan meninggalkan semuanya, rumah, keluarga dan segala sesuatu yang ada di rumah kakek. Ibu pergi tanpa mampu membawa apa pun, selain telepon genggam yang masih sempat ia bawa, saat sinar merah itu menyerang. Dari telepon genggam itulah ibu tahu bahwa ayah dan semua yang ada di rumah kakek mengalami cemas yang akut, mereka selalu berharap agar ibu kembali ke rumah itu. Mereka akan menerima kejadian itu dengan apa adanya, bahkan kata kakek dalam sebuah pesan singkatnya; jika kelak bayi yang dilahirkan ibu sudah menginjak dewasa, ia akan mengoperasi matanya agar dapat melihat. Namun ibu membalasnya dengan sangat singkat; maafkan aku yang tak dapat memberi kebahagiaan. Hanya itu, sebab ibu segera menjual teleponnya untuk ongkos kepergiannya. Sebuah kepergian untuk menepi, meninggalkan sesuatu bukan untuk mencari sesuatu. Ibu kemudian memelukku dengan erat. Aku merasakan ada sesuatu yang terjatuh dan dingin dari matanya. Dengan kemurungan yang tak dibuat-buat, ia meminta maaf padaku karena tak dapat memberi kebahagiaan. Selalu kata-kata itu yang aku dengar setiap kali aku pulang dengan bersedih sebab ejekan teman-teman sepermainanku. *** AKU tumbuh menjadi seorang lelaki yang tak banyak tahu tentang dunia luar, tentang apa dan bagaimana ibuku bekerja keras untuk membiayai kehidupan kami. Aku hanya tahu dari ibu bahwa di luar sangat tidak menyenangkan, lebih baik di kamar saja. Dan saat aku bertanya padanya kenapa ibu seringkali keluar, padahal di luar tengah rusuh, maka dengan membelai rambutku dengan kasih sayang yang sesungguhnya, ia akan menjawab; itu semua ibu lakukan untuk membiayai kehidupan kita. Kalau ibu tidak keluar, maka kita mau makan apa. Sebagai seorang yang berkembang sebagaimana mestinya, aku juga memiliki rasa keingintahuan yang besar tentang apa yang terjadi di luar. Maka pada suatu sore, saat ibuku belum pulang dari bekerja, aku mencoba keluar dari rumah. Aku berusaha menandai jalan yang aku lewati agar saat kembali aku tak tersesat, sampai akhirnya aku mendengar suara anak-anak yang aku yakini seusiaku, tengah bermain-main. Aku menghampiri mereka dan meminta agar aku boleh bermain bersama mereka. Namun mereka mengejekku, dengan serapahan, bahkan ada di antara mereka yang menjorok-jorokkan kepalaku. Mereka bernyanyi dengan sangat serempak, mengatakan aku buta. Suara mereka semakin keras, dan semakin banyak saja yang mendorong dan menjorokkan kepalaku. Sampai akhirnya ibu datang, membawa aku untuk pulang. Sesampainya di rumah, ibu memeluk aku erat, dengan tetes-tetes air dari matanya, dan meminta maaf padaku karena ia tak dapat membuat aku bahagia. Setelah itu ia menidurkan aku di ranjang, sambil menasihati aku agar aku tidak mengulangi pergi dari rumah lagi. Dan aku tertidur pulas. Malam itulah, aku terdampar pada suatu tempat yang benar-benar sepi, tanpa suara apa pun. Di sana aku dapat melihat daun-daun yang gugur. Aku melihat kota-kota yang hancur, rumah-rumah yang dindingnya rubuh, namun tak aku temui seorang pun di sana. Aku mencoba mencari-cari seseorang, hanya untuk sekadar bertanya apa yang sebenarnya baru terjadi, atau setidaknya aku tahu di mana aku sedang terdampar. Aku berjalan menyusuri tanah yang pecah-pecah, melewati rumah-rumah yang dindingnya rubuh. Cukup lama aku mencari-cari, sampai pada sebuah sudut rumah yang dindingnya pada beberapa bagian belum runtuh, aku menemukan seseorang. Ia berdiri dengan posisi membelakangi aku, rambutnya yang panjang tergerai, dengan aroma wangi ribuan bunga. Aku mendekatinya, mencoba bertanya apa yang sebenarnya terjadi atau bertanya di negeri mana aku terdampar. O, Tuhan. Entah karena apa, tiba-tiba aku tak dapat mengeluarkan suara apapun. Aku hanya tergagap, aku hanya tergagap. Tanpa menoleh, dalam posisi yang membelakangi aku, ia berkata dengan sangat perlahan; Sayang, jika engkau memiliki mata, maka hal yang menakutkan seperti ini akan engkau lihat setiap saat, di manapun engkau berada. Kemudian ia menghilang begitu saja, dengan tetap tanpa menoleh. Pagi-pagi, seusai salat subuh, aku menceritakan mimpi misterius itu pada ibu. Ibu mengatakan bahwa itu hanya kembang tidur saja, tak perlu dipikirkan berlarut-larut. *** MIMPI sialan itu selalu datang setiap malam, dengan percakapan yang tidak adil, sebab hanya dia, sosok perempuan yang membelakangi aku itu yang berbicara. Namun pada suatu malam, entah malam yang keberapa, aku mampu berkata-kata, meski hanya sekadar bertanya siapa sebenarnya kamu. Dengan nada yang pelan, bahkan aku hampir tak dapat mendengar, ia menjawab, bahwa ia adalah bidadari yang pernah mengambil mataku. Aku mendekatinya, mencoba menyentuh pakaiannya yang putih, dengan kibaran selendang dan kerudung yang teramat harum. Namun sebelum hal itu berhasil aku lakukan, seperti biasanya, ia pergi begitu saja. Mimpi-mimpi itu membuatku semakin gelisah, sebab selain ingin tahu lebih banyak tentang apa dan bagaimana dunia luar, aku juga ingin tahu siapa dia dan apa yang sebenarnya ia inginkan dariku, sehingga selalu mendamparkan aku pada sebuah negeri yang hancur. Mendamparkan aku pada sebuah ruang yang selalu diselumuti pertanyaan yang menumpuk. Malam ini aku semakin cemas, sebab bayangan perempuan yang mengaku bidadari itu selalu muncul, dengan keadaan yang membelakangi aku. Dengan mengandai-andai, mengira-ngira, aku mencoba membayangkan wajahnya. Seseorang yang bermata lentik, dengan tatapan mata yang menyejukkan, serta senyuman yang selalu terkembang. Setelah itu maka kami akan bercakap-cakap, berjalan bersama, sampai akhirnya aku terkejut dan ketakutan, sebab ia kembali mendamparkan aku pada sebuah negeri yang hancur. Aku berusaha untuk tidak tidur, sebab tidur sama saja dengan berjalan menuju dunia teror. Maka aku memutuskan berjalan keluar, dengan tanda-tanda jalan yang setiap hari selalu aku tandai. Setelah berjalan cukup jauh, aku mendengar sebuah suara yang tengah mengaji, terasa tenang, kemudian aku mendekatinya. Aku mengucapkan salam, sebelum akhirnya kepalaku membentur kaca jendela. Suara orang yang mengaji itu terdiam, kemudian digantikan dengan sebuah suara kaki berjalan dan mendekatiku. Ia membimbing aku masuk, dan menanyakan padaku tentang apa yang tengah melandaku, sebab katanya ia tahu dari wajahku ada yang menggelisahkan. Aku pikir tak ada salahnya jika aku menceritakan pada lelaki yang dari suaranya aku mengira telah berumur empat puluhan tahun itu. Lelaki itu meyakinkan aku bahwa tak ada yang perlu dicemaskan, sebab tak ada mimpi yang dapat menyekap kita, selama kita tahu bagaimana kita harus segera bangun. Maka aku mulai memejamkan mata, dengan sebelumnya berdoa agar perempuan itu tak datang menggangguku, kalaupun datang ia tak mendamparkan aku pada sebuah negeri yang hancur. Malam ini aku sangat muak, sebab aku kembali terdampar di tempat sialan ini, di suatu tempat yang tanahnya pecah-pecah, rumah-rumah yang dindingnya rubuh. Pada sudut rumah yang sebagian dindingnya belum rubuh, aku kembali menemukan perempuan berbaju putih itu. Kali ini ia membalikkan badan, menatapku dengan sendu, dan tersenyum. Pada tangannya yang mengembang, ia membawa dua biji mata. Ia memberi isyarat agar aku mendekat padanya. Aku berjalan mendekatinya. Namun lima langkah sebelum aku benar-benar berhadapan dengannya, aku dikagetkan dengan suara-suara yang keluar dari tanah yang pecah-pecah itu. Tepat di belakangku, mulai bermunculan ular berkepala manusia, dengan mata yang merah menyala menatap garang. Aku mempercepat langkah mendekati bidadari itu. Ia mengulurkan dua biji mata itu padaku, dengan suara pelan yang hampir tak terdengar; terpejamlah, saatnya aku mengembalikan matamu. Ia kemudian terdiam sesaat, sepertinya setelah jeda yang menggetarkan itu akan ada banyak hal yang ingin ia katakan padaku. Namun sialan, aku terkejut oleh suara teriakan, membangunkan aku dari mimpi. Aku terkejut bersamaan dengan gembira, sebab keajaiban telah datang; aku dapat melihat. Aku dapat melihat! Namun tak jauh di depanku, seorang lelaki bersarung, dengan tasbih di tangannya, tengah dililit ular-ular berkepala manusia, dengan mata yang merah garang. Ular-ular itu, mata yang merah dan garang itu, seperti ular-ular dalam negeri hancur di mana aku pernah terdampar

Friday, September 24, 2010

Yakinlah Anda Bisa

Ingatlah ketika Anda masih kecil, dan mencoba belajar berjalan.  saya yakin anda mengalami seperti ini: Pertama Anda harus belajar untuk berdiri: sebuah proses yang melibatkan seluruh tubuh, jatuh lalu kembali berdiri. Anda kadang tertawa serta tersenyum, tapi dilain waktu anda menangis dan meringis karena sakit. Entah, seperti ada tekad dan keyakinan dalam diri Anda bahwa Anda akan berhasil, apa pun dan bagaimanapun. Anda punya motivasi dalam diri Anda
Setelah banyak berlatih akhirnya Anda mengerti bagaimana keseimbangan diri Anda, sebuah persyaratan untuk kejenjang berikutnya. Anda menikmatinya dan seolah-olah punya kekuatan baru, punya motivasi baru. Anda akan berdiri dimana Anda suka – di tempat Anda, di sofa, di pangkuan ibu Anda, Bapak anda, atau pun seseorang. Itu adalah waktu yang menggembirakan – Anda melakukannya! Anda dapat mengontrol diri Anda. Anda tersenyum dan tertawa lucu, puas akan keberhasilan Anda.  Sekarang – langkah berikutnya – berjalan. Anda melihat orang lain melakukannya – ini keliatannya tidak terlalu sulit – hanya memindahkan kaki Anda saat Anda berdiri, kan?
Salah – ternyata lebih kompleks daripada yang Anda bayangkan. Anda berurusan dengan rasa frustasi. Tapi Anda terus mencoba, mencoba lagi dan mencoba lagi dan lagi sampai Anda tahu bagaimana berjalan. Anda selalu ingin kedua tangan anda diberi pegangan saat berjalan.
Jika orang melihat Anda berjalan, mereka akan bertepuk tangan, mereka tertawa, mereka akan memberi semangat, “Ya Tuhan, lihatlah apa yang dia lakukan”. “Oh anakku sudah bisa berdiri”. “pandainya anakku, pintarnya anakku” dan lain-lain. Dorongan ini memicu Anda; dorongan itu menambah rasa percaya diri Anda. Dorongan itu memotivasi Anda
Namun meski begitu, Andapun mencoba berjalan saat tak ada yang melihat Anda, saat tak ada yang bersorak-sorai? Setiap peluang ada, Anda berlatih untuk berjalan.  Anda tidak bisa menunggu seseorang untuk memotivasi Anda untuk mengambil langkah-langkah berikutnya. Anda belajar bagaimana untuk memotivasi diri sendiri.
Jika kita bisa mengingat hal ini tentang diri kita di hari ini.
Ingat bahwa kita bisa melakukan apapun yang kita pikiran. Kita mampu mengatur jika kita mau dan bersedia melewati proses, seperti ketika kita belajar berdiri, seperti ketika kita belajar berjalan. Kita tidak perlu menunggu orang lain untuk memotivasi kita, kita perlu memotivasi diri kita sendiri.
Jika Anda sudah lupa bagaimana melakukan hal ini, atau merasa seperti beku, kaku dan gamang. Maka Anda membutuhkan motivasi, ambillah kembali perjalanan singkat dalam hidup Anda yang telah lewat – Lihatlah prestasi Anda, tidak peduli prestasi besar atau prestasi kecil – atau saat-saat dimana Anda bertemu dengan tantangan dan menemukan cara untuk berhasil. Ulanglah keberhasilan itu saat ini, saat anda menghadapi permasalahan yang sedang anda hadapi.
Fokus pada semua hal yang Anda pikir Anda tidak bisa lakukan, kemudian lakukanlah. Lihatlah buah hati anda. Mereka tidak pernah menyerah. Dan mereka yakin serta percaya terhadap anda, bahwa anda mampu dan bisa.  Mereka percaya di dalam semua kehidupan Anda!
Sekarang Anda harus percaya pada diri Anda! Yakinkan pada hati Anda Bahwa Anda pasti bisa.
“Ingat, hari ini adalah hari terbaik dalam hidup Anda, milikilah masa depan yang indah, dengan membuat perubahan hari ini!
Marlene – Resensi.net

Because Of You

 

Artist: Kelly Clarkson

I will not make the same mistakes that you did
I will not let myself cause my heart so much misery
I will not break the way you did
You fell so hard
I've learned the hard way, to never let it get that far

Because of you

I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I find it hard to trust
Not only me, but everyone around me
Because of you
I am afraid

I lose my way

And it's not too long before you point it out
I cannot cry
Because I know that's weakness in your eyes
I'm forced to fake a smile, a laugh
Every day of my life
My heart can't possibly break
When it wasn't even whole to start with

Because of you

I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I find it hard to trust
Not only me, but everyone around me
Because of you
I am afraid

I watched you die

I heard you cry
Every night in your sleep
I was so young
You should have known better than to lean on me
You never thought of anyone else
You just saw your pain
And now I cry
In the middle of the night
For the same damn thing

Because of you

I never stray too far from the sidewalk
Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I tried my hardest just to forget everything
Because of you
I don't know how to let anyone else in
Because of you
I'm ashamed of my life because it's empty
Because of you
I am afraid

Because of you

Because of you